Minggu, 18 April 2021

Cerita Awal Kehadiran Anak Lanang

Tak sedikitpun saat istriku mengeluh kurang sehat terfikir bahwa sesungguhnya ia sedang ngidam. Aku hanya berfikir mungkin ia masuk angin saja. Maklum saja karena ia selalu bangun dini hari untuk mempersiapkan sahur. Pun demikian dengan istriku, ia pun tidak menyadari kalau dirinya sedang hamil muda.

Keluhan istriku saat itu demam, mual, dan pusing persis seperti gejala masuk angin. Gejala yang tak kunjung sembuh membuat aku mulai merasa khawatir kalau sakit yang diderita istriku akan bertambah parah. Apalagi belakangan ia juga mengalami muntah-muntah. Aku pun menyarankan agar ia minum obat.

Sudah lebih dari seminggu keluhan istriku tidak juga reda. Istriku mulai merasakan ada yang beda tentang sakitnya. Menurutnya, sakit semacam ini biasanya dalam kurun satu minggu akan berangsur-angsur mulai membaik. Tapi ini justru malah sebaliknya. Frekuensi muntah-muntahnya kini malah semakin sering, terutama kalau mencium bau-bauan.

Istriku mulai ingat sesuatu. Ia mulai berfikir dengan kata depan jangan-jangan. “jangan-jangan aku hamil, A” , ucapnya padaku. Aku sontak kaget, hal itu dikarenakan yang diucapkan istriku jauh diluar fikiranku. “kenapa ko bilang gitu?”, tanyaku penuh selidik. “ yah A, aku baru ingat seharusnya aku sudah datang bulan, tapi sampai saat ini kok belum juga”, jawab istriku. Aku coba mulai mengerti dan memahami dengan apa yang disampaikan istriku.

Aku jadi ingat bagaimana waktu istriku ngidam saat mengandung anak yang pertama dulu. Ia begitu kepayahan. Bagaimana tidak, hampir setiap selesai makan sesuatu pasti ia akan muntah-muntah, dan yang lebih parahnya lagi keadaan seperti itu berlangsung cukup lama, sampai usia kehamilan 4 bulan 5 bulan. Ditambah lagi dimasa awal ngidamnya istriku juga terserang batuk. Teringat akan hal itu, aku menjadi sangat mengkhawatirkan akan keadaan istriku. Aku khawatir kalau memang benar istriku hamil saat ini, kejadian yang menimpa istriku pada kehamilan pertama terulang lagi.  Apalagi usia istriku saat ini sudah tidak muda lagi.

Sampai akhirnya istriku minta dibelikan testpack. Akupun memenuhi permintaan istriku itu dengan membelinya di toko swalayan yang kebetulan bisa dijumpai dalam perjalanan pulang selepas kerja. Sesampainya dirumah aku langsung menyodorkan barang pesanan istriku itu. Istriku pun begitu antusias. Lalu kami berdua membuka kemasan, melihat barangnya seperti apa, dan membaca petunjuk pemakaian. Setelah faham dengan petunjuknya istriku langsung mencobanya. Aku menjadi dag dig dug menunggu hasilnya. Beberapa saat kemudian istriku menunjukkan testpack yang sudah digunakan. Berdasarkan hasil testpack itu, ternyata istriku positif.

Setelah tahu hasil testpack itu, hati dan fikiranku menjadi berkecamuk. Antara senang, khawatir, dan takut menjadi satu. Demikian juga istriku, merasakan hal yang sama dengan ku. Namun saat itu aku belum begitu yakin dengan hasil tes itu. Ada keraguan dalam proses dan juga cara membaca hasil tes itu. Maka kami berdua memutuskan untuk mendatangi praktek bidan esok hari. Karena aku harus tetap bekerja, maka istriku mendatangi praktek bidan dengan diantar anakku yang kedua.

Sore hari sesaat setelah aku pulang kerja istriku langsung menyampaikan hasil pemeriksaan bidan. Ia mengatakan bahwa hasilnya memang positif. Istriku juga menyampaikan bahwa ia merasa lega karena keluhan yang selama ini dirasakan bukanlah karena sakit atau penyakit. Ia juga mengulang kembali pernyataan yang pernah disampaikannya bahwa kalau memang benar hamil ia tidak ingin melahirkan di rumah sakit, ia juga tidak ingin di cessar.

Aku terdiam setelah mendengar penuturan istriku. Sambil berbaring aku menatap langit-langit kamar. Banyak hal yang kini aku fikirkan tentang kehamilan istriku. Hampir semua hal yang aku fikirkan adalah berisi kekhawatiran. Kekhawatiran pertama adalah mengenai usia istriku yang tidak muda lagi. Saat ini usia istriku sudah kepala 4 dengan ekor kurang dari kepalanya (bingung nggak?). Kata orang-orang kehamilan dengan usia kepala 4 cukup beresiko. Kalaupun memang itu terjadi, maka banyak yang menyarankan untuk lahiran secara cessar. Sementara Istriku sudah beberapa kali bilang bahwa ia tidak mau kalau hamil kemudian proses lahirnya dilakukan dengan cara cessar.

Kekhawatiran kedua adalah mengenai anak bungsuku saat ini. Aku khawatir kalau ia tidak mau menerima kehadiran orang yang dapat mengubah statusnya menjadi kaka. Selama ini anak bungsuku selalu ku panggil Dede. Ibu dan kakak-kakaknya Juga selalu memanggil dengan panggilan yang sama. Aku khawatir kalau anak bungsuku saat ini berfikiran bahwa kasih sayang aku dan istriku selaku orang tuanya akan berkurang karena harus berbagi dengan adiknya nanti. Kekhawatiran ku didasari atas dasar jawaban anak bungsuku ini kalau aku dan istriku sekali waktu iseng-iseng menanyakan “ Dede mau nggak punya dede?” Pertanyaan itu biasanya aku tanyakan saat sedang bersendagurau antara aku, istriku dan anakku itu. Ya iseng saja gitu. Hanya sekedar ingin tahu bagaimana sih reaksi si bungsu itu. Dan pertanyaan itu diajukan jauh-jauh hari sebelum istriku dalam kondisi hamil saat ini. Bahkan juga ketika pertanyaan itu diajukan aku dan istriku juga tidak berfikir bahwa pada akhirnya aku akan memiliki anak lagi.  Dan pertanyaan itu pasti selalu dijawab dengan cepat dan tegas dengan kata “nggak” yang dibarengi dengan nada kesal. Entah apa yang ada dalam benaknya kalau ia punya adik lagi. Apa mungkin ia merasa malu, karena usinya akan terpaut sangat  jauh dengan ade nya nanti.

Sebenarnya masih banyak kekhawatiran yang kurasakan, namun tidak semuanya bisa aku ceritakan dan kutuliskan saat ini. Yang jelas semua kekhawatiran itu menyatu menjadi sebuah kekuatan yang melemahkan ku. Betapa tidak, dengan semua kekhawatiran itu aku merasa mendapatkan beban yang begitu berat dan seolah tak sanggup lagi menahan beban itu. Namun aku tetap berusaha untuk tampil tegar, meskipun nyatanya semuanya tak bisa dipungkiri, aku menjadi sedikit pendiam, tak bergairah, kusut, dan lain sebagainya.  

Sampai saat itu anak-anak ku belum dikasih tahu kalau mereka mau punya adik lagi, kecuali anakku yang ke dua. Anak ku yang kedua ini baru lulus SMA dan sedang menunggu pengumuman hasil tes masuk PTN. Ia tahu kalau ia akan punya adik lagi, karena dialah yang dimintai tolong ibunya untuk mengantar ke praktek bidan memeriksa kehamilan. Anakku semuanya ada 4 dan semuanya adalah Perempuan. Yang pertama sudah kuliah semester 4. Yang ketiga baru duduk di SMP kelas 8, dan yang bungsu baru kelas 6 SD. Sepertinya perlu waktu yang tepat untuk menyampaikan akan hadirnya adik baru, apalagi menyampaikan pada si bungsu itu.

Sejak ada kepastian akan kehamilan istriku aku merasa menjadi lebih dekat dengan istriku. Hampir setiap hari sepulang kerja aku selalu langsung menghampiri istriku menanyakan keadaannya dan kandungnnya. Kadang juga aku sampaikan banyak hal tentang kekhawatiranku. Ada sisi yang sama antara aku dan istriku dalam cara pandang mengenai kehamilan istriku itu. Tapi perbedaanya jauh lebih banyak. Istriku lebih bisa menerima keaadaannya saat ini, bahkan sepertinya ia lebih dewasa dan lebih tegar ketimbang aku dalam menyikapi kehamilannya itu. Aku menjadi bersyukur akan hal itu, karena sikap istriku itu justru telah membantu aku menghilangkan satu kekhawatiran. Berawal dari situlah aku mulai sadar bahwa aku butuh tempat yang luas untuk menampung semua beban fikiranku. Dan aku sadar ketika hatiku berbisik mengatakan hanya Alloh lah tempat yang tepat untuk menyampaikan keluh kesah itu. Aku menitikkan air mata sesaat.

Waktu terus berjalan, dan alhamdulillah istriku dalam keadaan sehat-sehat saja tidak seperti yang aku khawatirkan sebelum-sebelumnya. Juga bayi yang dikandungnya senantiasa dalam keadaan sehat. Menurut hasil USG bayi yang dikandung istriku berjenis kelamin laki-laki. Tapi aku tidak terlalu mempersoalkannya, karena dari dulu tiap istriku hamil aku hanya punya keyakinan bahwa anak yang dilahirkan hanya ada dua kemungkinan, yaitu laki-laki atau perempuan. Bagiku saat ini yang terpenting adalah istriku dan kandungannya dalam keadaan sehat wal afiat. Meskipun demikian tidak bisa dipungkiri bahwa sesungguhnya hati kecilku berharap nantinya bayi yang lahir adalah laki-laki, tapi semuanya aku pasrahkan pada sang Khalik.

Di sisi lain istriku begitu antusias menyampaikan hasil USG nya. Biasanya istriku akan menunjukkan gambar-gambar hasil USG padaku dan menjelaskannya secara detail. Diakhir penjelasannya ia menyampaikan bahwa bayinya adalah laki-laki. Sepertinya ia begitu yakin kalau bayi yang dikandungnya adalah laki-laki. “ di monitor gambarnya lebih jelas A”, begitu ucapnya melengkapi penjelasannya padaku. Aku hanya mengiyakan saja. Aku sendiri memang belum pernah ikut mengantar istriku dalam pemeriksaan USG.

Selanjutnya dari hasil pemeriksaan terakhir, kehamilan istriku katanya harusnya sudah masuk pada tahap melahirkan, tapi samasekali belum ada tanda-tanda akan hal itu. Makanya kemudian bidan menyarankan agar istriku di bawa ke RS untuk diperiksa lebih detail.

Keesokan harinya sambil berangkat kerja aku mampir ke Puskesmas untuk meminta surat rujukan. Aku pikir untuk mendapatkan surat rujukan itu istriku tidak perlu diajak, ternyata petugas Puskesmas mengharuskannya. Karena penjelasan dari petugas itu dapat aku terima, maka aku putuskan kembali pulang untuk menjemput istriku. Namun sebelum aku pulang, aku lanjutkan dulu perjalanan menuju tempat kerja untuk menaruh tas. Setelah lapor ke Piket, aku langsung bergegas dan tak lupa sebelumnya ku hubungi istriku lewat telpon dan aku sampaikan bahwa ia harus siap-siap sebentar lagi akan aku jemput.

Singkat cerita akhirnya surat rujukan sudah ditangan, aku dan istriku langsung menuju Rumah Sakit. Setelah semua prosedur sudah ditempuh, akhirnya dapat lah no. antrian, kalau tidak salah istriku dapat antrian no. 12.

 Sambil menunggu panggilan aku perhatikan anak-anak yang lalu lalang berlarian penuh gembira dihadapanku. Sepertinya mereka sedang dalam proses pengobatan atau theraphy. Ku lihat orang tua mereka sepertinya tetap bangga dan bahagia dengan anak-anaknya itu, meskipun (maaf ternyata anak-anak itu memiliki kelainan masing-masing).  “lalu bagaimana denganku jika anak yang lahir nanti seperti anak-anak itu?”. “sanggupkah aku untuk ikhlas menerima keadaan itu?”. Inilah sebenarnya bentuk kekhawatiranku yang lain yang menerpa fikiranku selama ini yang belum aku ceritakan sebelumnya. Sesaat sambil tertunduk tanpa sadar aku meneteskan airmata, lalu kembali aku memperhatikan orang tua anak-anak itu, sepertinya mereka tetap tegar dalam merawat anak-anaknya. Tetap bahagia dan menyayanginya meskipun anaknya memiliki kelainan seperti itu. Lalu aku tersenyum ingat sesuatu, “orang tua seperti inilah yang Alloh janjikan syurgaNya”. Lalu tiba-tiba hati kecilku berbisik, ” ya Alloh andaikan Engkau menitipkan amanah anak dengan kondisi seperti anak-anak yang aku saksikan itu, inshaalloh aku ikhlas ya Alloh”. Tiba-tiba saja setelah itu aku merasakan hati dan fikiranku menjadi lega, tidak lagi sesak dan terbebani, juga tidak ada lagi rasa khawatir itu. Aku bersyukur mendapatkan pembelajaran dari orang-orang dihadapanku.

Tak berapa lama no. antrian atas nama istriku dipanggil. Aku dan istriku segera bangkit dari duduk dan bergegas memasuki ruang praktek dokter. Setelah selesai menjalani beberapa pemeriksaan kemudian dilakukan USG. Kali ini aku mendapatkan penjelasan langsung dari dokter mengenai USG. Pada monitor tampak bayi yang ada dalam kandungan istriku. Dokter menunjukkan organ-organ tubuh bayi dalam kandungan istriku itu, termasuk menunjukkan jenis kelaminnya. Dokter menjelaskan bahwa bayi dalam kondisi baik dan jenis kelaminnya adalah laki-laki. Dokter juga berpesan jika dalam waktu satu minggu ke depan belum lahir istriku di minta datang lagi untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Sampai di sini aku kira proses pemeriksaan sudah akan selesai, ternyata tidak. Perawat mengajak kami menuju ruangan lain yang berada di lantai atas. Untuk selanjutnya istriku ditangani oleh petugas yang bertugas di ruangan itu. Ternyata Istriku masih harus menjalani pemeriksaan denyut jantung sang bayi. Di ruangan itu aku diminta menghitung gerakan sang bayi dalam kurun waktu tertentu dengan cara memegangi perut istriku. Selesai proses itu kemudian petugas memasang alat-alat semacam kabel yang ditempelkan ke bagian perut istriku. Kabel-kabel itu terhubung ke alat pendeteksi yang apabila sang bayi melakukan gerakan maka akan muncul bunyi pada alat pendeteksi itu dibarengi dengan keluarnya print out hasil pemeriksaan berupa diagram.

Kurang lebih satu jam proses pemeriksaan di ruangan itu, lalu kami diajak petugas kembali ke lantai bawah. Aku dan istriku diminta untuk menunggu, sementara petugas menghubungi perawat yang tadi mengantar kami ke lantai atas. Cukup lama juga aku menunggu. Aku coba tanyakan pada petugas lain yang berada di ruangan itu. Aku diminta bersabar karena Dokter yang tadi menangani istriku masih sibuk menangani pasien. Aku coba mengerti penjelasan dari petugas itu. Selang beberapa waktu kemudian dari ruang dokter keluar perawat yang tadi mengantar kami ke lantai atas. Lalu aku coba hampiri sebelum ia sampai di meja layanan. Dari perawat itu aku mendapatkan informasi bahwa hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa kondisi bayi dalam kandungan istriku baik-baik saja. Alhamdulillah selesai sudah proses pemeriksaan istriku. Kamipun bergegas untuk segera pulang.

 Esok paginya setelah shalat subuh istriku merasa sakit diperutnya. Aku coba bantu untuk mengurangi rasa sakitnya dengan mengelus-elus bagian yang dirasa sakit. Aku mulai resah. Sampai akhirnya setelah beberapa kali ia merasakan sakit perut ia berbisik padaku, “ sepertinya sudah mau lahiran A”. “yah udah kalau gitu kita siap-siap ke tempat bidan.” Ujarku. Aku segera ganti baju dan bergegas mengambil tas yang sudah dipersiapkan untuk proses persalinan. Sementara istriku dibantu ibunya juga segera bergegas memakai jilbabnya.

Singkat cerita sebelum jam 6 pagi, aku sudah digerbang tempat praktek bidan. Kebetulan ditempat praktek itu sudah ada petugas yang bersiap. Setelah deal bentuk pelayanan dan pilihan kamar perawatan, aku dan istriku diantar ke kamar yang sudah di pesan. Kami beristirahat sejenak di kamar itu. Sementara petugas mulai mempersiapkan alat-alat dan bahan di ruang persalian. Tak berapa lama istriku dibawa ke ruang persalinan. Di ruangan itu sudah ada 4 orang petugas dan 1 bidan utama yang akan menangani proses persalinan istriku. Bidan mulai memeriksa kondisi istriku. Sepertinya istriku mengalami ketegangan, hal itu ditandai dengan tensinya yang mendadak tinggi. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar